Kepergian bapak terasa sangat
cepat, tanpa didahului sakit sama sekali. Bahkan setengah jam sebelum bapak
meninggal, bapak masih bekerja
membersihakan lahan yang akan digunakan untuk membangun rumahku. Kami semua
sangat terpukul dengan kejadian ini. Di mata kami bapak orang yang sangat baik,
penyayang dan penyabar. Beliau pergi
setelah satu setengah bulan aku memenuhi keinginannya untuk tinggal bersama
bapak. Bapak pernah berucap ingin meninggal tanpa harus sakit lebih dulu.
Beberapa hari sebelum bapak meninggal, beliau menyampaikan bahwa semua
keinginannya tentang anak-anaknya sudah
terwujud. Aku yang sebelumnya merantau sejak 10 tahun 6 bulan sudah mutasi dan
sementara tinggal bapak. Keinginannya mempunyai cucu perempuan sudah terwujud dengan
lahirnya anak ketiga kakakku sebulan lalu. Keinginan agar diantara anak-anaknya
ada yang meneruskan mengajar di sekolah dimana dulu bapak mengajar juga
terpenuhi sejak adikku diterima mengajar di sekolah itu. Beliau juga ingin
adikku yang sebelumnya mengajar jauh di luar kota dapat mutasi ke dekat rumah,
dan sudah terwujud. Di mataku bapak sosok yang sempurna, tidak pernah marah
apalagi main tangan kepada anak-anaknya maupun ibu.
Sebagai anak kedua dari enam
bersaudara, aku tahu benar bagaimana bapak yang seorang guru Madrasah
Ibtidaiyah (setara SD) harus berjuang menghidupi dan menyekolahkan kami. Untuk
menambah penghasilan, bapak bertani di lahan yang beliau miliki. Lahan itu
semakin menyempit karena terpaksa sebagian dijual untuk membiayai kuliah kami.
Ketika kakakku di terima di sebuah universitas, sepetak sawah bapak terpaksa
direlakan untuk bayar uang gedung, begitu pun ketika dua tahun kemudian aku menyusul
masuk kuliah, bapak juga kembali harus merelakan sepetak sawahnya. Ketika adikku
masuk kuliah, kejadian terulang lagi, beliau harus melepas sepetak sawahnya
lagi untuk uang masuk. “ Tidak apa-apa, yang penting kalian bisa mendapat
pendidikan yang bagus, sawah ini lah satu-satunya tabungan bapak” begitu
ucapnya ketika aku bertanya kenapa sepetak demi sepetak sawah itu harus pindah
pemilik.
Aku sangat dekat dengan bapak,
bahkan sampai aku masuk semester 1 kemana pun bapak pergi dan harus menginap,
aku selalu diajaknya serta. Bukan berarti hubungan kami selalu mulus, kami juga
beberapa kali bersikeras dengan pendapat kami masing-masing. Namun bapak selalu
mendapat solusi sehingga hubungan kami kembali baik.
Kepergian bapak yang sangat
mendadak adalah pukulan yang sangat berat bagiku, terlebih selama ini aku
adalah satu-satunya anak yang tinggl
jauh dari keluarga. Kakak dan adikku ketika sudah menikah, mereka memiliki
rumah yang tidak jauh dari rumah bapak sedang aku sejak lulus kuliah dan
bekerja dari tahun 2005, pindah-pindah tempat antara Tangerang, Bogor, Bekasi
dan Jakarta.
Ketika sore itu bapak mengeluh
sakit di lambungnya, aku mengikutinya berjalan menuju ke kamarnya. Bapak
merebahkan diri, dan menyampaikan ingin istirahat sebentar. Ibu, suami, satu
adikku dan anakku mengikuti ke kamar bapak. Ibu masih sempat menyuapi bapak dengan
teh hangat. Keringat mengucur dari tubuh bapak. Aku menawarkan untuk memanggil
dokter, tapi bapak menolak karena hanya merasa sedikit capek. Waktu itu
feelingku mengatakan akan terjadi sesuatu, aku meminta suamiku untuk membawa
bapak ke rumah sakit, namun bapak menolak. Beberapa menit kemudian bapak
batuk-batuk tiga kali dan mengucap “Laa illa ha illaallah”, setelah itu bapak nampak
lemas. Suami dan adik laki-laki ku segera
mengangkat tubuh bapak ke mobil dan membawa ke rumah sakit yang jaraknya
4 menit perjalanan dari rumah.
Beberapa menit kemudian sepupu-ku
yang menyusul ke rumah sakit menyampaikan bahwa bapak sudah meninggal. Rasanya dunia gelap saat itu. Sekilas aku merasa seorang sepupuku
menggotongku ke kamar. Semua masih terasa gelap. Tiba-tiba aku seperti melihat
putaran film dari masa kecilku. Ketika masih TK merengek-rengek kepada bapak
minta dibelikan sepatu, tas, boneka dan mainan lainnya . Suatu hari di bawah
hujan aku meminta bapak mengantar ku ke lapangan kecamatan yang jaraknya 5 KM
untuk melihat pertunjukkan dengan mengendarai sepeda kayuh miliknya. Terbayang
bagaimana bingungnya bapak ketika aku dinyatakan diterima sekolah yang
aku inginkan dan harus membayar sejumlah uang yang besarnya melebihi perkiraan
bapak. Saat itu bapak terpaksa mengetuk pintu rumah beberapa temannya untuk mendapat
pinjaman uang guna membayar sekolahku. Putaran
film masa lalu itu membuat aku merasa sangat bersalah kepada bapak karena
selama ini aku belum banyak membalas jasa bapak kepadaku, walau aku yakin bapak
tak pernah mengharapkannya.
Andai waktu dapat diputar
kembali, aku ingin banyak mempunyai waktu untuk bapak, mendengarkan kisahnya
yang terus bangga dengan anak-anaknya. Aku ingin membuat impian-impian bapak
yang mungkin belum pernah diucapkan dapat terwujud. Seperti bapak-bapak yang
lain, bapakku adalah sosok yang tak akan pernah terganti. Kini yang bisa aku
lakukan hanyalah mengirim doa dan ingat semua nasehatnya. Sampai bertemu di
alam sana, Pak!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar