Sabtu, 20 Agustus 2016

KETIKA BAPAK PERGI



Kepergian bapak terasa sangat cepat, tanpa didahului sakit sama sekali. Bahkan setengah jam sebelum bapak meninggal,  bapak masih bekerja membersihakan lahan yang akan digunakan untuk membangun rumahku. Kami semua sangat terpukul dengan kejadian ini. Di mata kami bapak orang yang sangat baik, penyayang dan penyabar.  Beliau pergi setelah satu setengah bulan aku memenuhi keinginannya untuk tinggal bersama bapak. Bapak pernah berucap ingin meninggal tanpa harus sakit lebih dulu. Beberapa hari sebelum bapak meninggal, beliau menyampaikan bahwa semua keinginannya tentang  anak-anaknya sudah terwujud. Aku yang sebelumnya merantau sejak 10 tahun 6 bulan sudah mutasi dan sementara  tinggal bapak. Keinginannya  mempunyai cucu perempuan sudah terwujud dengan lahirnya anak ketiga kakakku sebulan lalu. Keinginan agar diantara anak-anaknya ada yang meneruskan mengajar di sekolah dimana dulu bapak mengajar juga terpenuhi sejak adikku diterima mengajar di sekolah itu. Beliau juga ingin adikku yang sebelumnya mengajar jauh di luar kota dapat mutasi ke dekat rumah, dan sudah terwujud. Di mataku bapak sosok yang sempurna, tidak pernah marah apalagi main tangan kepada anak-anaknya maupun ibu.

Sebagai anak kedua dari enam bersaudara, aku tahu benar bagaimana bapak yang seorang guru Madrasah Ibtidaiyah (setara SD) harus berjuang menghidupi dan menyekolahkan kami. Untuk menambah penghasilan, bapak bertani di lahan yang beliau miliki. Lahan itu semakin menyempit karena terpaksa sebagian dijual untuk membiayai kuliah kami. Ketika kakakku di terima di sebuah universitas, sepetak sawah bapak terpaksa direlakan untuk bayar uang gedung, begitu pun ketika dua tahun kemudian aku menyusul masuk kuliah, bapak juga kembali harus merelakan sepetak sawahnya. Ketika adikku masuk kuliah, kejadian terulang lagi, beliau harus melepas sepetak sawahnya lagi untuk uang masuk. “ Tidak apa-apa, yang penting kalian bisa mendapat pendidikan yang bagus, sawah ini lah satu-satunya tabungan bapak” begitu ucapnya ketika aku bertanya kenapa sepetak demi sepetak sawah itu harus pindah pemilik.

Aku sangat dekat dengan bapak, bahkan sampai aku masuk semester 1 kemana pun bapak pergi dan harus menginap, aku selalu diajaknya serta. Bukan berarti hubungan kami selalu mulus, kami juga beberapa kali bersikeras dengan pendapat kami masing-masing. Namun bapak selalu mendapat solusi sehingga hubungan kami kembali baik.

Kepergian bapak yang sangat mendadak adalah pukulan yang sangat berat bagiku, terlebih selama ini aku adalah satu-satunya anak yang  tinggl jauh dari keluarga. Kakak dan adikku ketika sudah menikah, mereka memiliki rumah yang tidak jauh dari rumah bapak sedang aku sejak lulus kuliah dan bekerja dari tahun 2005, pindah-pindah tempat antara Tangerang, Bogor, Bekasi dan Jakarta.

Ketika sore itu bapak mengeluh sakit di lambungnya, aku mengikutinya berjalan menuju ke kamarnya. Bapak merebahkan diri, dan menyampaikan ingin istirahat sebentar. Ibu, suami, satu adikku dan anakku mengikuti ke kamar bapak. Ibu masih sempat menyuapi bapak dengan teh hangat. Keringat mengucur dari tubuh bapak. Aku menawarkan untuk memanggil dokter, tapi bapak menolak karena hanya merasa sedikit capek. Waktu itu feelingku mengatakan akan terjadi sesuatu, aku meminta suamiku untuk membawa bapak ke rumah sakit, namun bapak menolak. Beberapa menit kemudian bapak batuk-batuk tiga kali dan mengucap “Laa illa ha illaallah”, setelah itu bapak nampak lemas. Suami dan adik laki-laki ku segera  mengangkat tubuh bapak ke mobil dan membawa ke rumah sakit yang jaraknya 4 menit perjalanan dari rumah.

Beberapa menit kemudian sepupu-ku yang menyusul ke rumah sakit menyampaikan bahwa bapak sudah meninggal.  Rasanya dunia gelap saat itu.  Sekilas aku merasa seorang sepupuku menggotongku ke kamar. Semua masih terasa gelap. Tiba-tiba aku seperti melihat putaran film dari masa kecilku. Ketika masih TK merengek-rengek kepada bapak minta dibelikan sepatu, tas, boneka dan mainan lainnya . Suatu hari di bawah hujan aku meminta bapak mengantar ku ke lapangan kecamatan yang jaraknya 5 KM untuk melihat pertunjukkan dengan mengendarai sepeda kayuh miliknya. Terbayang bagaimana bingungnya  bapak  ketika aku dinyatakan diterima sekolah yang aku inginkan dan harus membayar sejumlah uang yang besarnya melebihi perkiraan bapak. Saat itu bapak terpaksa mengetuk  pintu rumah beberapa temannya untuk mendapat pinjaman uang guna membayar sekolahku.  Putaran film masa lalu itu membuat aku merasa sangat bersalah kepada bapak karena selama ini aku belum banyak membalas jasa bapak kepadaku, walau aku yakin bapak tak pernah mengharapkannya.

Andai waktu dapat diputar kembali, aku ingin banyak mempunyai waktu untuk bapak, mendengarkan kisahnya yang terus bangga dengan anak-anaknya. Aku ingin membuat impian-impian bapak yang mungkin belum pernah diucapkan dapat terwujud. Seperti bapak-bapak yang lain, bapakku adalah sosok yang tak akan pernah terganti. Kini yang bisa aku lakukan hanyalah mengirim doa dan ingat semua nasehatnya. Sampai bertemu di alam sana, Pak!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar