Beruntung sekali
aku mempunyai suami yang mendukung penuh program ASI eksklusive untuk bayiku. Bahkan dia selalu
mengingatkan aku ketika aku harus memerah dan menambah stok ASI. Suami juga
selalu mencari informasi tentang kebutuhan ASI dan asupan gizi untuk ibu
menyusui. Hal ini untuk memastikan bahwa ASI yang aku hasilkan mencukupi dan
berkualitas.
Hampir setiap
dua minggu sekali aku harus bertugas keluar kota. Komitmenku untuk terus
bekerja meski memiliki bayi harus tetap aku laksanakan, selain karena aku masih
menyukai pekerjaanku, aku juga masih ingin mempunyai penghasilan sendiri
sedangkan aku tidak mempunyai usaha selain bekerja. Peranku sebagai ibu
seringkali digantikan oleh suami ketika aku harus bertugas ke luar kota. Dengan
cekatan suami mengurus dan menyiapkan semua kebutuha si bayi.
Ketika bayiku
berumur 4 bulan, aku mendapat tugas ke luar kota selama seminggu. Tugas kali
ini cukup mendadak karena baru dua hari sebelumnya aku mendapat informasi.
Kebetulan orang yang biasa membantu kami bergantian dengan suami untuk menjaga bayi ketika aku bertugas, sedang ada urusan sehingga tidak bisa membantu. Suami
segera menghubungi bibinya yang ada di kampung untuk datang membantu, namun ternyata tidak bisa. Suami kemudian menelepon
kakaknya yang ada di Kuningan Jawa Barat untuk datang, namun ternyata juga tidak
bisa karena harus menjaga cucunya yang ditinggal tugas keluar kota oleh ibunya.
Akhirnya kami terpaksa mengambil keputusan untuk membawa bayi kami ke Kuningan,
karena waktunya mendesak, aku tidak dapat mengantar bayiku.
Satu-satunya
pilihan adalah suami yang membawa bayiku ke Kuningan. Kebetulan selama satu
minggu ke depan tidak ada pekerjaan yang harus diselesaikan oleh suamiku
sehingga dia dapat menemani bayiku selama di Kuningan. Malam itu juga aku browsing dan mendapatkan
tiket kereta Cirebon Ekspres untuk suamiku. Suami dan bayiku berangkat ke Kuningan
dari stasiun Gambir dengan naik kereta dan turun di stasiun Cirebon. Perjalanan
dari Cirebon menuju Kuningan masih 1 jam. Suami dan bayiku akan dijemput oleh sepupu
di stasiun Cirebon.
Komitmen kami
adalah apa pun keadaannya, bayiku harus tetap minum ASI minimal sampai 6 bulan. Aku bisa membayangkan
bagaimana repotnya suamiku dalam perjalanan itu. Dia harus membawa bayiku
dengan strollernya, tas yang berisi pakaian suami, tas yang berisi perlengkapan
bayi untuk satu minggu serta cooler bag besar berisi sekitar 7 liter ASI beku.
Perlengkapan bayi yang harus dibawa oleh suami cukup banyak karena saat itu bayiku dalam keseharian tidak menggunakan popok buatan, tetapi popok kain biasa
sehingga harus lebih sering ganti pakaian. Popok sekali pakai hanya kami
gunakan jika bayiku dalam perjalanan saja.
Aku menyiapkan
sekitar 70 botol ASI perah beku yang disimpan di botol ASI serta plastik khusus
ASI. ASI tersebut sebelumnya sudah aku bekukan di freezer sehingga lebih tahan
lama. Untuk menjaga agar ASI tetap beku dan tidak rusak, ASI dibawa dengan
menggunakan Coller bag besar dan disela botol diberi ice gel. Beruntung
sebelumnya aku sempat hunting untuk beli cooler bag besar. Cooler bag ini muat
sampai hampir 100 botol asal dapat menatanya dengan benar. Aku mendapatkannnya
melalui online shop. Selain cooler bag besar itu aku masih ada 2 cooler bag
yang lain yang hanya muat sekitar 7 botol saja. Cooler bag kecil ini yang biasa
aku gunakan ketika aku ke kantor atau bepergian. Jadi selama ini aku menjadi
ibu cooler, dimana ada aku, di situ
pasti ada cooler bag.
Pagi itu kami
berangkat bersama dengan menggunakan
taksi. Jam 5 pagi kami sudah meinggalkan rumah. Aku antar suami dan bayiku dulu
ke stasiun Gambir setelah itu aku menuju bandara Sukarno Hatta. Aku sangat
bangga degan suamiku yang mau berepot ria demi ASI eksklusif bayiku. Perjalanan
dari rumah di Jakarta selatan- Kuningan ditempuh dalam waktu sekitar 5 jam.
Untuk selama diperjalanan aku sudah menyiapkan sekitar 3 botol ASI yang sudah
aku cairkan. ASI tersebut tetap aku masukkan ke cooler bag untuk menjaga agar
tidak rusak. Selain itu aku juga meyiapkan termos kecil berisi air panas yang
akan digunakan untuk merendam ASI cair sebelum diberikan ke bayi sehingga
suhunya standart. Untuk menjaga aga bayi tidak dehidrasi dalam perjalanan
setiap 2 jam sekali bayiku selalu diberi ASI minimal 100 ml.
Suami dan bayiku
sampai di Kuningan sekitar jam 12 siang. Aku langsung menelpon suamiku dan
Alhamdulillah selama di perjalanan ternyata bayiku tidak rewel dan tetap banyak
minum. Ketika mereka di Kuningan, sering sekali aku menelpon untuk menanyakan
keadaannya. Setiap pilihan yang kita
mabil belum tentu dapat diterima oleh pikiran orang lain. Begitu juga pilihan
kami untuk tetap memberikan ASI bagi bayiku. Bahkan saudara kami yang seorang
para medis saja menganggap pilihan kami merupakan sebuah pilihan yang konyol.
Ada satu famili yang bahkan mengatakan bahwa aku adalah seorang ibu yang tega
dan pelit terhadap anak sendiri karena tidak mau memberikan susu formula.
Menurut mereka susu formula adalah yang terbaik buat bayi. Sedangkan menurut
kami, hanya kami yang tahu apa yang terbaik buat anak kami.
Selama satu
minggu tersebut aku cukup was-was takut ASIP yang dibawa tidak cukup. Setiap
hari aku selalu berhitung sisa stok ASI yang ada. Tiba di hari ketika aku sudah
harus kembali ke Jakarta aku sangat senang sekali namun juga sangat khawatir.
Waktu itu jam 7 pagi aku menelpon suami dan suami mennyampaikan bahwa stok ASI
tinggal tinggal 4 botol lagi. Itu artinya 8 jam lagi stok ASI akan habis karena bayiku meminumnya 1 botol per jam. Aku sangat berharap pesawat yang akan
membawaku tidak delay sehingga tepat 8 jam lagi aku sudah dapat bertemu dengan
bayikuku dan segera dapat menyusui langsung.
Selama dalam
bertugas tersebut aku selalu memerah ASI dan kembali ke Jakarta aku membawa
sekitar 6 liter ASIP. Ada sedikit masalah di bandara ketika aku melalui bagian pemeriksaan. Petugas curiga dengan apa
yang aku bawa walau aku sudah
menjelaskan bahwa yang aku tersebut adalah ASIP yang aku kumpulkan beberapa
hari. Akhirnya terpaksa aku membuka satu botol untuk menunjukkan ke petugas
baru aku diperbolehkan membawanya. Ketika sudah sampai di ruang tunggu bandara,
aku sempat mendapat informasi bahwa pesawat akan terlambat sekitar 30
menit. Ini membuat aku cukup panik. Aku terus berdoa agar bayiku tidak kehausan
sampai aku bertemu dengannya. Di bandara
aku sempat meneteskan airmata ketika melihat seroang bapak muda menggendong bayinya
yang seumuran dengan bayiku. Ibu si bayi duduk di sampingnya. Aku ingat bayi
dan suamiku. Di jam yang sama suami dan bayiku juga sedang perjalanan kembli ke
Jakarta dengan menggunakan kereta api. Pasti suamiku lebih ribet dari bapak
muda itu karena selain sendirian, suami juga harus membawa tas dan cooler bag
berisi botol ASI yang sudah kososng.
Beruntung
pesawat yang aku tumpangi mempunyai ruang pedingin yang cukup besar. Seorang
pramugari menyarankan aku untuk menitipkan ASI ku di ruang pendingin tersebut. Aku
tiba di bandara Sukarno Hatta terlambat 30 menit dari seharusnya. Aku langsung
memesan taksi untuk mengantar ke rumah. Suami dan bayiku akan tiba
di stasiun Gambir satu jam kemudian. Dengan pertimbangan menghindari resiko
macet maka kami memutuskan aku akan langsung ke rumah dan suami dengan bayiku akan naik taksi
sendiri dari stasiun, tidak perlu aku jemput. Jalanan Jakarta sore itu agak
tersendat. Kembali kekhawatiran menghapiri aku. Satu jam kemudian aku telpon
suami dan suami sudah sampai di stasiun. Aku dengar bayiku menangis kencang.
Suami menyampaikan bahwa mungkin bayiku sudah haus dan stok ASI sudah habis
setengah jam yang lalu. Aku cukup panik.
Supir taksi yang mengantarku bertanya apa yang terjadi ketika mengetahui
kepanikanku. Akhirnya aku jelaskan bahwa yang baru saja aku telpon adalah suami
ku yang saat itu sedang membawa anakku dari Kuningan. Supir tersebut bertanya
berapa umur anakku, aku jawab 4,5 bulan. Supir taksi itu berkata, bahwa dia
tidak bisa membayangkan bagaimana repotnya suamiku membawa bayi dalam
perjalanan sejauh itu karena si bapak supir
pernah membawa anaknya yang sudah
5 tahun saja dan merasa kerepotan, apalagi yang dibawa suamiku adalah bayi 4,5
bulan.
Pernyataan pak
supir semakin membuat aku panik. Terlebih beberapa menit kemudian suamiku
menelpon lagi dan menyampaikan bahwa bayiku menangis lagi. Beruntung jalanan
yang aku lalui dan yang dilalui suami saa itu sama-sama lancar sehingga tepat
saat bayiku harus minum lagi, kami sampai rumah dalam waktu yang bersamaan. Bersyukur
sekali aku saat itu, bayiku tidak harus kekurangan minum karena begitu sampai
rumah, aku langsung menyusuinya. Saat itu yang kembali harus aku pikirkan
adalah bagaimana aku harus segera menabung ASI kembali untuk persiapan jika aku
harus berdinas ke luar kota lagi. Terlebih dengan semakin besarnya bayiku maka
kebutuhan ASI akan semakin banyak.