Selasa, 10 Januari 2017

PAPA SUPER ASI



Beruntung sekali aku mempunyai suami yang mendukung penuh program ASI eksklusive untuk bayiku. Bahkan dia selalu mengingatkan aku ketika aku harus memerah dan menambah stok ASI. Suami juga selalu mencari informasi tentang kebutuhan ASI dan asupan gizi untuk ibu menyusui. Hal ini untuk memastikan bahwa ASI yang aku hasilkan mencukupi dan berkualitas.
Hampir setiap dua minggu sekali aku harus bertugas keluar kota. Komitmenku untuk terus bekerja meski memiliki bayi harus tetap aku laksanakan, selain karena aku masih menyukai pekerjaanku, aku juga masih ingin mempunyai penghasilan sendiri sedangkan aku tidak mempunyai usaha selain bekerja. Peranku sebagai ibu seringkali digantikan oleh suami ketika aku harus bertugas ke luar kota. Dengan cekatan suami mengurus dan menyiapkan semua kebutuha si bayi.
Ketika bayiku berumur 4 bulan, aku mendapat tugas ke luar kota selama seminggu. Tugas kali ini cukup mendadak karena baru dua hari sebelumnya aku mendapat informasi. Kebetulan orang yang biasa membantu kami bergantian dengan suami untuk menjaga bayi ketika aku bertugas, sedang ada urusan sehingga tidak bisa membantu. Suami segera menghubungi bibinya yang ada di kampung untuk datang membantu, namun  ternyata tidak bisa. Suami kemudian menelepon kakaknya yang ada di Kuningan Jawa Barat untuk datang, namun ternyata juga tidak bisa karena harus menjaga cucunya yang ditinggal tugas keluar kota oleh ibunya. Akhirnya kami terpaksa mengambil keputusan untuk membawa bayi kami ke Kuningan, karena waktunya mendesak, aku tidak dapat mengantar bayiku.
Satu-satunya pilihan adalah suami yang membawa bayiku ke Kuningan. Kebetulan selama satu minggu ke depan tidak ada pekerjaan yang harus diselesaikan oleh suamiku sehingga dia dapat menemani bayiku selama di Kuningan.  Malam itu juga aku browsing dan mendapatkan tiket kereta Cirebon Ekspres untuk suamiku. Suami dan bayiku berangkat ke Kuningan dari stasiun Gambir dengan naik kereta dan turun di stasiun Cirebon. Perjalanan dari Cirebon menuju Kuningan masih 1 jam. Suami dan bayiku akan dijemput oleh sepupu di stasiun Cirebon.
Komitmen kami adalah apa pun keadaannya, bayiku harus tetap minum ASI  minimal sampai 6 bulan. Aku bisa membayangkan bagaimana repotnya suamiku dalam perjalanan itu. Dia harus membawa bayiku dengan strollernya, tas yang berisi pakaian suami, tas yang berisi perlengkapan bayi untuk satu minggu serta cooler bag besar berisi sekitar 7 liter ASI beku. Perlengkapan bayi yang harus dibawa oleh suami cukup banyak karena saat itu bayiku dalam keseharian tidak menggunakan popok buatan, tetapi popok kain biasa sehingga harus lebih sering ganti pakaian. Popok sekali pakai hanya kami gunakan jika bayiku dalam perjalanan saja.
Aku menyiapkan sekitar 70 botol ASI perah beku yang disimpan di botol ASI serta plastik khusus ASI. ASI tersebut sebelumnya sudah aku bekukan di freezer sehingga lebih tahan lama. Untuk menjaga agar ASI tetap beku dan tidak rusak, ASI dibawa dengan menggunakan Coller bag besar dan disela botol diberi ice gel. Beruntung sebelumnya aku sempat hunting untuk beli cooler bag besar. Cooler bag ini muat sampai hampir 100 botol asal dapat menatanya dengan benar. Aku mendapatkannnya melalui online shop. Selain cooler bag besar itu aku masih ada 2 cooler bag yang lain yang hanya muat sekitar 7 botol saja. Cooler bag kecil ini yang biasa aku gunakan ketika aku ke kantor atau bepergian. Jadi selama ini aku menjadi ibu cooler, dimana ada aku,  di situ pasti ada cooler bag.
Pagi itu kami berangkat bersama dengan  menggunakan taksi. Jam 5 pagi kami sudah meinggalkan rumah. Aku antar suami dan bayiku dulu ke stasiun Gambir setelah itu aku menuju bandara Sukarno Hatta. Aku sangat bangga degan suamiku yang mau berepot ria demi ASI eksklusif bayiku. Perjalanan dari rumah di Jakarta selatan- Kuningan ditempuh dalam waktu sekitar 5 jam. Untuk selama diperjalanan aku sudah menyiapkan sekitar 3 botol ASI yang sudah aku cairkan. ASI tersebut tetap aku masukkan ke cooler bag untuk menjaga agar tidak rusak. Selain itu aku juga meyiapkan termos kecil berisi air panas yang akan digunakan untuk merendam ASI cair sebelum diberikan ke bayi sehingga suhunya standart. Untuk menjaga aga bayi tidak dehidrasi dalam perjalanan setiap 2 jam sekali bayiku selalu diberi ASI minimal 100 ml.
Suami dan bayiku sampai di Kuningan sekitar jam 12 siang. Aku langsung menelpon suamiku dan Alhamdulillah selama di perjalanan ternyata bayiku tidak rewel dan tetap banyak minum. Ketika mereka di Kuningan, sering sekali aku menelpon untuk menanyakan keadaannya. Setiap pilihan  yang kita mabil belum tentu dapat diterima oleh pikiran orang lain. Begitu juga pilihan kami untuk tetap memberikan ASI bagi bayiku. Bahkan saudara kami yang seorang para medis saja menganggap pilihan kami merupakan sebuah pilihan yang konyol. Ada satu famili yang bahkan mengatakan bahwa aku adalah seorang ibu yang tega dan pelit terhadap anak sendiri karena tidak mau memberikan susu formula. Menurut mereka susu formula adalah yang terbaik buat bayi. Sedangkan menurut kami, hanya kami yang tahu apa yang terbaik buat anak kami.
Selama satu minggu tersebut aku cukup was-was takut ASIP yang dibawa tidak cukup. Setiap hari aku selalu berhitung sisa stok ASI yang ada. Tiba di hari ketika aku sudah harus kembali ke Jakarta aku sangat senang sekali namun juga sangat khawatir. Waktu itu jam 7 pagi aku menelpon suami dan suami mennyampaikan bahwa stok ASI tinggal tinggal 4 botol lagi. Itu artinya 8 jam lagi stok ASI akan habis karena bayiku meminumnya 1 botol per jam. Aku sangat berharap pesawat yang akan membawaku tidak delay sehingga tepat 8 jam lagi aku sudah dapat bertemu dengan bayikuku dan segera dapat menyusui langsung.
Selama dalam bertugas tersebut aku selalu memerah ASI dan kembali ke Jakarta aku membawa sekitar 6 liter ASIP. Ada sedikit masalah di bandara ketika aku melalui  bagian pemeriksaan. Petugas curiga dengan apa yang aku bawa  walau aku sudah menjelaskan bahwa yang aku tersebut adalah ASIP yang aku kumpulkan beberapa hari. Akhirnya terpaksa aku membuka satu botol untuk menunjukkan ke petugas baru aku diperbolehkan membawanya. Ketika sudah sampai di ruang tunggu bandara, aku sempat mendapat informasi bahwa pesawat akan terlambat sekitar 30 menit. Ini membuat aku cukup panik. Aku terus berdoa agar bayiku tidak kehausan sampai aku bertemu dengannya.  Di bandara aku sempat meneteskan airmata ketika melihat seroang bapak muda menggendong bayinya yang seumuran dengan bayiku. Ibu si bayi duduk di sampingnya. Aku ingat bayi dan suamiku. Di jam yang sama suami dan bayiku juga sedang perjalanan kembli ke Jakarta dengan menggunakan kereta api. Pasti suamiku lebih ribet dari bapak muda itu karena selain sendirian, suami juga harus membawa tas dan cooler bag berisi botol ASI yang sudah kososng.
Beruntung pesawat yang aku tumpangi mempunyai ruang pedingin yang cukup besar. Seorang pramugari menyarankan aku untuk menitipkan ASI ku di ruang pendingin tersebut. Aku tiba di bandara Sukarno Hatta terlambat 30 menit dari seharusnya. Aku langsung memesan taksi untuk mengantar ke rumah. Suami dan bayiku akan tiba di stasiun Gambir satu jam kemudian. Dengan pertimbangan menghindari resiko macet maka kami memutuskan aku akan langsung ke rumah dan suami dengan bayiku  akan naik taksi sendiri dari stasiun, tidak perlu aku jemput. Jalanan Jakarta sore itu agak tersendat. Kembali kekhawatiran menghapiri aku. Satu jam kemudian aku telpon suami dan suami sudah sampai di stasiun. Aku dengar bayiku menangis kencang. Suami menyampaikan bahwa mungkin bayiku sudah haus dan stok ASI sudah habis setengah jam yang lalu. Aku cukup panik.  Supir taksi yang mengantarku bertanya apa yang terjadi ketika mengetahui kepanikanku. Akhirnya aku jelaskan bahwa yang baru saja aku telpon adalah suami ku yang saat itu sedang membawa anakku dari Kuningan. Supir tersebut bertanya berapa umur anakku, aku jawab 4,5 bulan. Supir taksi itu berkata, bahwa dia tidak bisa membayangkan bagaimana repotnya suamiku membawa bayi dalam perjalanan sejauh itu karena si bapak supir  pernah  membawa anaknya yang sudah 5 tahun saja dan merasa kerepotan, apalagi yang dibawa suamiku adalah bayi 4,5 bulan.
Pernyataan pak supir semakin membuat aku panik. Terlebih beberapa menit kemudian suamiku menelpon lagi dan menyampaikan bahwa bayiku menangis lagi. Beruntung jalanan yang aku lalui dan yang dilalui suami saa itu sama-sama lancar sehingga tepat saat bayiku harus minum lagi, kami sampai rumah dalam waktu yang bersamaan. Bersyukur sekali aku saat itu, bayiku tidak harus kekurangan minum karena begitu sampai rumah, aku langsung menyusuinya. Saat itu yang kembali harus aku pikirkan adalah bagaimana aku harus segera menabung ASI kembali untuk persiapan jika aku harus berdinas ke luar kota lagi. Terlebih dengan semakin besarnya bayiku maka kebutuhan ASI akan semakin banyak.